Disfungsi Waria dalam Ludruk
Saat perjalanan pulang dari ngopi, tidak sengaja mampir
sejenak di pinggir jalan, tepatnya di desa Tempeh Kidul, Kecamatan Tempeh,
karena ada orang yang sedang punya Hajat (jawa:duwe gawe) yang sedang nanggap
Ludruk, sebuah kesenian tradisional yang jarang sekali saya konsumsi. Banyak sekali
para pemuda yang berkeliaran di situ, ngalor-ngidul. Fikirku awal, saya merasa
sangat bangga karena para pemuda masih banyak yang suka dengan kesenian
tradisional seperti ludruk.
Lima menit berselang, bau parfum, wangi, yang sangat
menyengat terhembus angin sampai di hidung. Setelah saya lihat asal bau
tersebut, ternyata seorang wanita yang sangat seksi, dengan pakaian yang minor,
dan make up yang sangat tebal menghiasai muka wanita tersebut. Tak lama
kemudian, saya coba nguping tentang apa yang dibicarakannya dengan beberapa
pemuda yang mengelilinginya. Saya yakin, ini bukan wanita sungguhan, ini BANCI,
karena mendengar suaranya yang dibuat menjadi kewanita-wanitaan.
Setelah itu saya coba untuk mengelilingi area sekitar
panggung Ludruk . Ternyata, tidak sedikit banciwan dan banciwati yang sedang
mempromosikan dirinya didepan para
pemuda, dengan merayu dengan gaya kegenitan. Sempat kaget juga, ketika melihat
mereka yang sedang "main" di kebun Pepaya, tepat di sebelah kanan
panggung yang agak sedkit jauh dan cahaya yang remang-remang.
Melihat realita yang ada tersebut, rasa bangga yang awalnya
menghiasi fikiran, menjadi memudar dan akhirnya hilang. Ditambah lagi dengan
jawaban terhadap lontaran pertanyaan saya kepada salah satu pemuda yang ada
disana tentang tujuan hadir di Ludruk itu,
bahwa mereka hanya ingin untuk menggoda para banci, masalah pertunjukan
ludruk, itu nomor dua, paraaah!!!
Bila melihat sekilas dari sejarahnya mengenai cikal bakal
ludruk, Peacock dalam bukunya yang berjudul: "Ritus Modernisasi: Aspek
Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia" Hal. 28, bahwa ada
beberapa orang yang mengatakan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang disebut ludruk
Bondan dan ludruk lyrok telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit
pada abad ke-13 di Jawa. Namun secara tertulis, catatan paling awal mengenau
saksi mata pertama yang menonton pertunjukan yang disebut sebagai ludruk baru
ditemukan pada tahun 1822. Dalam pertujukan tersebut, ludruk dibintangi oleh
dua orang, yakni satu pemain dagelang, yang bercerita lucu-lucu, dan seorang
waria. Hingga sekarang, pemain dagelang dan waria tetap menjadi elemen dominan
dalam pertunjukan ludruk.
Dari sejarah diatas, berarti ada multi fungsi waria, yang
awalnya mereka hanya 'akting' di atas panggung, ada juga waria yang 'akting' di
luar panggung seperti yang tersebut di atas.
Jika kebiasaan masyarakat kita seperti itu, Ludruk akhirnya
tidak dikenal sebagai sebuah pertunjukan seni, malah akan berubah menjadi media
negatif, yang akhirnya akan berdampak bagi kelestarian ludruk itu sendiri.
Sehingga nantinya ada peralihan peran ludruk dalam paradigma masyarakat kita.
0 Response to "Disfungsi Waria dalam Ludruk"
Posting Komentar