“Gender ; Emansipasi Yang Mengerti Kodrat Manusia”
Apa sih gender itu? banyak yang kita mungkin belum mengerti benar ataupun malah nggak tau apa itu gender. Bahkan ada yang salah kaprah menganggap gender itu makhluk yang tidak perlu ada karena banyak merugikan pihak tertentu.
Gender itu berasal dari bahasa latin “GENUS” yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Kalau begitu antara gender dengan seks sama dong ? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri.
Hikayat Pembagian Peran
Menurut Ilmu Sosiologi dan Antropologi, Gender itu sendiri adalah perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula.
Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause.
Bagaimana pula bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin) itu sendiri?
Hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut.Contoh; masyarakat kultur tertentu dengan masyarakat kultur lainnya, masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. ( berikan contoh konkret).
Dari peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang “mengharuskan” misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dll. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa (macho), pencari nafkah dll. Maka terjadilah ketidakadilan dalam kesetaraan peran ini.
Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. “Kan memang kodrat gue sebagai cewek untuk lemah gemulai, mau menerima apa adanya, dan enggak boleh membantah. Sementara saudara gue yang cowok harus berani, tegas, dan bisa ngatur!” Begini kita sering memahami peran jenis kelamin kita, bukan?
Dari kecil kita telah diajarkan, cowok akan diberikan mainan yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan. Sedangkan cewek diberikan mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan lainnya.
Lalu, ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, contohnya, “Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur”. Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang “pantas” dan “tidak pantas” dilakukan sebagai seorang cowok atau cewek.
Sebenarnya kondisi ini enggak ada salahnya. tetapi akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik cowok maupun cewek) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena enggak semua cowok mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka cowok yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika cewek lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini enggak enak dan memberikan tekanan.
Bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi gender?
- Marginalisasi (peminggiran). Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Misalnya banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu bagus, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Hal ini terjadi karena sangat sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
- Subordinasi (penomorduaan), anggapan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua setelah laki-laki.
- Stereotip (citra buruk) yaitu pandangan buruk terhadap perempuan. Misalnya perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.
- Violence (kekerasan), yaitu serangan fisik dan psikis. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip diatas. Perkosaan, pelecehan seksual atau perampokan contoh kekerasan paling banyak dialami perempuan.
- Beban kerja berlebihan, yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan terus menerus. Misalnya, seorang perempuan selain melayani suami (seks), hamil, melahirkan, menyusui, juga harus menjaga rumah. Disamping itu, kadang ia juga ikut mencari nafkah (di rumah), dimana hal tersebut tidak berarti menghilangkan tugas dan tanggung jawab diatas.
Memperjuangkan kesetaraan
Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi cowok atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan.
Hal ini mungkin bisa terjadi jika mitos-mitos seputar citra (image) menjadi “cowok” dan “cewek” dapat diperbaiki. Memang enggak ada cara lain. Sebagai cowok ataupun cewek, kita harus menyadari bahwa kita adalah pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa mengubah kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan ini, maka baik sebagai cowok ataupun cewek kita harus terlibat.
Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif jender.
Tetapi bagaimana kita sebaiknya memulainya ? mungkin langkah-langkah ini dapat membantu
1 Bangun kesadaran diri
Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional, aktivis kesetaraan jender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu untuk memandu pelatihan dan diskusi yang kita adakan bersama.
2 Bukan urusan cewek semata
Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut cowok. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika cowok tidak terlibat dalam usaha ini. Cewek bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan cowok pun perlu dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan cewek dan mau bermitra untuk maju.
3 Bicarakan
Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin. Bukankah ini jauh lebih membahagiakan?
4 Kampanyekan
Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat melihat “cowok” dan “cewek” dalam ukuran “kepantasan” yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali enggak berpihak, menekan, dan menghambat peluang cewek untuk memiliki kesempatan yang sama dengan cowok. Jadi ini memang soal mengubah cara pikir.
5 Terapkan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang lebih baik selain menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya. Mudah-mudahan dampaknya akan lebih meluas.
0 Response to "“Gender ; Emansipasi Yang Mengerti Kodrat Manusia”"
Posting Komentar